Padahal, sejumlah ketentuan perundang-undangan di Indonesia telah memberikan perlindungan yang cukup komprehensif kepada konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) menjadi payung hukum utama dalam melindungi hak-hak pembeli properti.
Dalam Pasal 4, disebutkan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa, termasuk dalam hal ini adalah produk properti.
Lebih lanjut, Pasal 4 huruf c menyatakan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Dalam konteks properti, ini berarti konsumen berhak mengetahui dengan detail status kepemilikan tanah, izin mendirikan bangunan (IMB), status sertifikat, spesifikasi bangunan, serta jangka waktu serah terima unit.
Sayangnya, dalam praktiknya tidak semua pengembang properti menjalankan kewajiban tersebut secara transparan. Masih kerap ditemui kasus di mana unit rumah atau apartemen ditawarkan kepada publik tanpa kejelasan legalitas lahan, atau bahkan dijual sebelum seluruh perizinan dikantongi.
Risiko pun berpindah kepada konsumen yang telah melakukan pembayaran tanpa jaminan kepastian hukum.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mewajibkan pengembang mendaftarkan proyek mereka melalui Sistem Informasi Perizinan Perumahan (SIPERMAN).
Sistem ini memungkinkan konsumen memverifikasi apakah suatu proyek perumahan atau rumah susun telah memiliki izin-izin pokok seperti izin lokasi, IMB, dan SLF (sertifikat laik fungsi).
Selain perlindungan terhadap informasi dan legalitas, konsumen juga dilindungi dari praktik wanprestasi oleh pengembang.
Banyak kasus menunjukkan bahwa unit yang dijanjikan diserahterimakan dalam jangka waktu tertentu, justru mengalami keterlambatan atau bahkan gagal diselesaikan.
Dalam situasi seperti ini, UU Perlindungan Konsumen memberikan hak kepada konsumen untuk mengajukan pengaduan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), atau menempuh jalur hukum melalui pengadilan perdata atas dasar wanprestasi.
Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman juga memberikan penguatan terhadap hak konsumen. Pasal 42 ayat (3) misalnya, menyebutkan bahwa pembangunan perumahan dan permukiman wajib menjamin ketertiban hukum, keterpaduan perizinan, dan kejelasan hak atas tanah.
Artinya, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban jika ternyata proyek tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Dalam praktiknya, sengketa konsumen properti juga sering kali berkaitan dengan isi perjanjian jual beli yang tidak seimbang.
Banyak perjanjian yang mencantumkan klausul baku yang merugikan konsumen, seperti penghapusan hak atas kompensasi bila terjadi keterlambatan serah terima atau denda yang tidak seimbang.
Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen secara tegas melarang pencantuman klausul semacam itu karena bertentangan dengan asas keadilan.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bahkan menyebut bahwa mayoritas pengaduan konsumen properti berasal dari isi kontrak yang menempatkan konsumen pada posisi yang sangat lemah.
Oleh karena itu, konsumen disarankan untuk membaca secara seksama seluruh isi perjanjian jual beli (PPJB) dan jika perlu, meminta pendampingan notaris atau penasihat hukum independen sebelum menandatanganinya.
Dari sisi perlindungan keuangan, konsumen juga berhak memastikan bahwa uang muka (down payment) dan cicilan awal yang dibayarkan tidak langsung digunakan untuk operasional pengembang, melainkan disimpan dalam rekening escrow (rekening penampung) yang terpisah.
Skema ini telah diatur dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 11 Tahun 2019 sebagai bagian dari penguatan tata kelola pembiayaan properti. Namun, dalam banyak kasus, implementasi kebijakan ini masih lemah dan belum dijalankan secara merata oleh pelaku usaha.
Sebagai upaya preventif, pemerintah juga mendorong peningkatan literasi konsumen terkait transaksi properti melalui edukasi publik.
Sementara itu, peran aktif lembaga pengawasan seperti BPKN, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam hal pembiayaan KPR, serta lembaga mediasi seperti BPSK diharapkan dapat menjadi kanal penyelesaian sengketa yang efektif.
Pada akhirnya, perlindungan hukum terhadap konsumen properti bukan hanya bergantung pada regulasi yang tersedia, tetapi juga pada keberanian konsumen untuk menggunakan haknya secara aktif.
Konsumen yang cermat, teliti, dan paham hukum memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat dalam menghadapi pengembang dan dalam menuntut hak-haknya bila terjadi sengketa. (*)
Tanggung Jawab Platform dan Perlindungan Konsumen dalam Perdagangan Aset Kripto
25 Jul 2025, 14:06 WIB
Transparansi dan Risiko Perdagangan Kripto, Hak Konsumen yang Masih Rentan Diabaikan
25 Jul 2025, 13:53 WIB
Produsen Wajib Tanggung Jawab terhadap Kemasan Sekali Pakai yang Merusak Lingkungan
24 Jul 2025, 23:09 WIB
FMCG
24 Jul 2025, 23:04 WIB
FMCG
24 Jul 2025, 23:00 WIB
Energi
24 Jul 2025, 22:32 WIB
Energi
24 Jul 2025, 22:31 WIB
Properti
24 Jul 2025, 21:52 WIB
Properti
24 Jul 2025, 21:39 WIB
Fintech
24 Jul 2025, 19:38 WIB
Leasing
23 Jul 2025, 12:28 WIB
Leasing
23 Jul 2025, 12:26 WIB
Leasing
23 Jul 2025, 10:26 WIB
Leasing
21 Jul 2025, 20:03 WIB
Kesehatan
21 Jul 2025, 16:47 WIB
Kesehatan
21 Jul 2025, 12:28 WIB
Kesehatan
21 Jul 2025, 11:43 WIB
Kesehatan
21 Jul 2025, 10:48 WIB
Telekomunikasi
15 Jul 2025, 16:27 WIB
Liputan
20 Feb 2025, 16:59 WIB
Liputan
20 Feb 2025, 16:11 WIB
Liputan
25 Des 2024, 20:32 WIB
Perbankan
25 Des 2024, 12:51 WIB
Produsen Wajib Tanggung Jawab terhadap Kemasan Sekali Pakai yang Merusak Lingkungan
Dibaca 7.509 kali