Debitur yang selama ini merasa terintimidasi dan tidak tahu harus berbuat apa kini mendapatkan kepastian hukum bahwa mereka tidak bisa begitu saja dianggap wanprestasi dan kehilangan objek jaminan fidusia tanpa proses hukum yang sah.
Kejelasan tentang Wanprestasi Tidak Lagi Sepihak
Sebelum adanya putusan MK tersebut, pihak kreditur yang menerima jaminan fidusia memiliki hak untuk melakukan eksekusi secara sepihak, yang dikenal dengan istilah “parate eksekusi”. Hak ini diperoleh karena sertifikat jaminan fidusia dianggap memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Akibatnya, kendaraan bisa langsung ditarik oleh leasing melalui pihak ketiga seperti debt collector, tanpa adanya keputusan pengadilan terlebih dahulu.
Namun, Putusan MK mengubah paradigma ini secara signifikan. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa jika debitur tidak mengakui telah melakukan wanprestasi, maka eksekusi jaminan fidusia tidak dapat dilakukan secara sepihak.
Dalam situasi ini, kreditur wajib mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan terlebih dahulu. Artinya, hanya pengadilan yang berwenang memutuskan apakah benar telah terjadi pelanggaran kontrak oleh debitur.
Hal ini ditegaskan oleh Ketua MK saat itu, Anwar Usman, bahwa tindakan eksekusi tanpa proses peradilan dapat menimbulkan ketidakadilan dan membuka celah penyalahgunaan kekuasaan oleh kreditur. Oleh karena itu, pengadilan harus menjadi penengah objektif dalam menentukan ada atau tidaknya wanprestasi.
Praktik di Lapangan Masih Menyimpang
Meski putusan MK sudah final dan mengikat, kenyataannya praktik penarikan kendaraan secara paksa masih kerap terjadi. Banyak leasing yang tetap menggunakan jasa debt collector tanpa menunjukkan surat tugas resmi, identitas yang jelas, maupun salinan putusan pengadilan.
Fenomena ini disinyalir terjadi karena lemahnya pengawasan terhadap industri pembiayaan serta minimnya pemahaman masyarakat terhadap hak-haknya.
Tak sedikit debitur yang merasa takut saat didatangi sejumlah orang ke rumah atau jalanan, lalu diminta menyerahkan kendaraannya. Bahkan ada yang mengalami intimidasi verbal hingga fisik.
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) juga menyoroti bahwa dalam pelaksanaan lelang objek jaminan fidusia pasca putusan MK, proses eksekusi harus memiliki dasar hukum berupa putusan pengadilan, kecuali debitur secara sukarela mengakui wanprestasi.
Dalam praktiknya, ini belum sepenuhnya berjalan sesuai ketentuan karena belum semua pelaku usaha pembiayaan menyesuaikan proses bisnis mereka dengan regulasi baru tersebut.
Pentingnya Literasi dan Tindakan Tegas dari Aparat
Perlindungan hukum terhadap debitur tak hanya berhenti pada putusan MK, tetapi perlu diperkuat dengan literasi hukum yang lebih baik kepada masyarakat dan penegakan hukum di lapangan.
Kepolisian, sebagai aparat penegak hukum, seharusnya tidak berpihak dan berani menindak pelaku penarikan paksa kendaraan yang tidak sah, bahkan bila mereka mengaku dari perusahaan leasing.
Selain itu, masyarakat sebagai debitur harus memahami bahwa mereka memiliki hak untuk menolak penarikan kendaraan jika tidak disertai dokumen resmi, terutama putusan pengadilan yang menyatakan mereka wanprestasi.
Debitur juga berhak melaporkan tindakan perampasan atau kekerasan kepada pihak berwenang.
Pakar hukum perdata dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Sulistiowati, dalam sebuah seminar menyampaikan bahwa edukasi kepada konsumen menjadi krusial, karena banyak yang merasa tidak memiliki pilihan lain selain menyerahkan kendaraan mereka. Padahal, hukum kini melindungi posisi mereka dengan lebih tegas.
Arah Pembenahan dan Harapan ke Depan
Putusan MK ini diharapkan menjadi momentum evaluasi bagi lembaga pembiayaan dalam memperbaiki prosedur eksekusi, serta bagi pemerintah dalam memperkuat pengawasan terhadap praktik leasing yang menyimpang.
Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga didesak lebih aktif melakukan pengawasan terhadap perusahaan leasing dan memberi sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang terbukti melanggar.
Masyarakat luas juga diharapkan semakin menyadari pentingnya membaca dan memahami isi perjanjian fidusia sebelum menandatangani kontrak pembiayaan.
Jika menemukan ketentuan yang dirasa tidak adil atau memberatkan, debitur berhak berkonsultasi kepada lembaga bantuan hukum atau pihak berwenang.
Dengan adanya kesadaran bersama antara debitur, kreditur, dan pemerintah, eksekusi jaminan fidusia ke depan diharapkan berjalan lebih adil, transparan, dan sesuai dengan hukum yang berlaku. (*)
Tanggung Jawab Platform dan Perlindungan Konsumen dalam Perdagangan Aset Kripto
25 Jul 2025, 14:06 WIB
Transparansi dan Risiko Perdagangan Kripto, Hak Konsumen yang Masih Rentan Diabaikan
25 Jul 2025, 13:53 WIB
Produsen Wajib Tanggung Jawab terhadap Kemasan Sekali Pakai yang Merusak Lingkungan
24 Jul 2025, 23:09 WIB
FMCG
24 Jul 2025, 23:04 WIB
FMCG
24 Jul 2025, 23:00 WIB
Energi
24 Jul 2025, 22:32 WIB
Energi
24 Jul 2025, 22:31 WIB
Properti
24 Jul 2025, 21:52 WIB
Properti
24 Jul 2025, 21:39 WIB
Fintech
24 Jul 2025, 19:38 WIB
Leasing
23 Jul 2025, 12:28 WIB
Leasing
23 Jul 2025, 12:26 WIB
Leasing
23 Jul 2025, 10:26 WIB
Leasing
21 Jul 2025, 20:03 WIB
Kesehatan
21 Jul 2025, 16:47 WIB
Kesehatan
21 Jul 2025, 12:28 WIB
Kesehatan
21 Jul 2025, 11:43 WIB
Kesehatan
21 Jul 2025, 10:48 WIB
Telekomunikasi
15 Jul 2025, 16:27 WIB
Liputan
20 Feb 2025, 16:59 WIB
Liputan
20 Feb 2025, 16:11 WIB
Liputan
25 Des 2024, 20:32 WIB
Perbankan
25 Des 2024, 12:51 WIB
Produsen Wajib Tanggung Jawab terhadap Kemasan Sekali Pakai yang Merusak Lingkungan
Dibaca 7.509 kali